Sabtu, 28 Februari 2009

pengen jadi jutawan dari internet

Setiap orang bebas bermimpi..iya ga?
Nah g sekarang lagi bermimpi menjadi seorang jutawan or milyuner dari binsis internet
pertanyaannya mungkin ga?..jawabannya tentu bisa...and I am sure with that.
Kenape? karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini...everything is possible ..
Anne Ahira, cosa aranda, Jack Ma ( Alibaba.com), Jeff Bezos (Amazon), Larry Page n Sergey Brin (Google), dan masih banyak orang yang telah membuktikan hal tersebut....so...g yakin g juga bisa kaya mereka.
Emang sih awalnya g coba-coba....tp g juga sadar semua hal kalo mau sukses harus ditekuni dengan sepenuh hati and sepenuh jiwa he-he..Gua tentu harus banyak berkorban baik waktu, tenaga, perasaan, etc..deh...but itulah kehidupan...iya ga bro..


DEKLARASI DEDEN FIRDAUS
Hari : Minggu, tanggal 01 Maret 2009..pukul 13.20..WIB

" Wahai Dunia Saksikanlah Tekad dan Sumpahku"

Aku bertekad untuk menggeluti bisnis internet ini dengan sepenuh hati , sepenuh jiwa..dan akan aku curahkan semuanya...fikiran, waktu , perasaan untuk menggeluti bisnis ini...

Bismillahirrahmaanirrahiim....

Tegal Alur, di sudut ruang tamu.....sambil nunggu waktu kerja he-he

Minggu, 01 Februari 2009

resensi buku-lampung post

Menara Gading Demokrasi di Indonesia
Menara Gading Demokrasi di Indonesia

Jangan bicara tentang idealisme!!!!
mari bicara berapa banyak uang di kantong kita.
(Iwan Fals)


Sumber : Lampung Post, 27 Maret 2005

Kutipan lagu di atas tepat mengawali kajian buku yang unik ini. Demokrasi adalah kata yang mampu menyihir dan telah menjadi konsumsi publik, tak peduli ia pejabat tinggi maupun rakyat jelata.

Diskursus masalah demokrasi telah menjadi wacana (discourse) yang menarik dalam perkuliahan ilmu-ilmu sosial, tema-tema seminar politik, ataupun topik obrolan ringan di kedai-kedai kopi maupun pasar-pasar rakyat. Intinya demokrasi merupakan hal yang tak asing lagi bagi kita.

Demokrasi sebagai kata yang sering kita dengar dan perbincangkan ternyata hidup di menara gading, tidak hidup dalam realitas. Jika kita hubungkan dengan sepenggal bait lagu Iwan Fals di atas maka pantas reasanya jika lagu tersebut kita ubah menjadi, 'Jangan bicara tentang demokrasi, mari bicara berapa banyak uang di kantong kita'. Dengan tidak bermaksud mengubah hak cipta lagu tersebut, secara substantif-empiris kenyataannya memang demikian. Demokrasi hanya ada dalam impian dan angan-angan yang melangit, belum hadir dalam realitas nyata. Dengan kata lain demokrasi hanya tumbuh dan berkembang dalam tataran ideal (das sollen) belum mewujud dalam tataran realitas.

Secara substanstif, buku ini adalah ungkapan kekecewaan penulis tentang fenomena demokrasi yang hadir dalam realitas sosial di Indonesia. Kekecewaan terhadap perubahan di bawah bendera demokrasi yang ternyata telah gagal dalam realitasnya. Kekecewaan terhadap "mandul" dan "mati surinya" gerakan reformasi yang telah menelan darah dan air mata anak bangsa. Kekecewaan terhadap elite politik yang hanya menjadikan rakyat "sapi perah" untuk mendulang suara saat pemilu, tapi para wakil rakyat ini duduk di atas "kursi". Mereka pura-pura lupa atau memang sengaja melupakan nasib rakyat yang telah mengantarkannya kepada "empuknya" kursi kekuasaan. Kekecewaan terhadap eksekutif negeri ini yang mulutnya berbusa-busa bicara tentang rakyat, tapi dalam praksis-nya mereka sama sekali tidak memahami rakyat mana yang mereka wakili. Yang jelas rakyat mereka adalah dirinya dan kroni-kroninya. Kekecewaan kepada para aktivis prodemokrasi yang memanfaatkan rakyat sebagai objek atas nama NGO/LSM untuk mendapatkan funding/donatur yang ternyata "UUD" (ujung-ujungnya duit) dan rakyat tetap saja sengsara. Ironis memang jika kita menelanjangi demokrasi dalam tinjauan realitas yang ada saat ini karena itulah kenyataannya.

Buku ini berisikan lima bab yang mendekonstruksi sejatinya demokrasi saat ini. Bab pertama "Imajinasi Faham Demokrasi" (Hlm. 9--33), menelanjangi demokrasi dari sudut pandang teoritis, sejarah serta para tokoh dan pakar yang terkenal dalam studi demokrasi.

Dimulai dari pembongkaran demokrasi secara akar bahasa (etimologi) yang berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (pemerintah) sampai tokoh peletak demokrasi dimulai dari Plato dan Aristoteles dengan kota Athena sebagai miniatur sistem demokrasi; Machiavelli dengan tiga pola kekuasaannya, yakni kerajaan (principato) dewan perwakilan/aristokrasi (ottimati), dan partisipasi rakyat (popolare) yang termaktub dalam discorsi (politik kerakyatan); John Locke dengan dua model fungsi pemerintahan, yaitu legislatif dan yudikatif; Montesquie dengan trias politica-nya yang merupakan pendalaman dan perluasan pemikiran John Locke; Joseph Schumpeter dengan pendekatan kelembagaan politik, Samuel. P Huntington dengan pengenalan gelombang demokratisasi melalui periodisasi waktu dengan bukunya yang terkenal Clash of Civilization; dan masih banyak lagi tokoh-tokoh kampiun demokrasi yang coba diungkap dalam bab ini.

Bab Dua: "Demokrasi di Tengah Gerombolan Bandit" (Hlm. 35--55) membongkar habis fenomena demokrasi di Indonesia. Dengan mengambil substansi dan nilai-nilai film "Godfather" (karya Francis Ford Copolla), "Scarface" (Brian de Palma), "Road to Perdition" (Sam Mendes), dan "Gangs of New York" (Martin Scorsose), penulis menjelaskan pada prinsipnya terdapat ikatan yang kuat antara sesama bandit. Dalam kehidupan bandit uang adalah identitas, sedangakan atasan mereka adalah orang yang memberi uang tersebut. Kesetiaan mereka diukur dengan uang.

Begitu pula realitas demokrasi di Indonesia. Pelaku demokrasi yang berkuasa di nergeri ini tidak lebih dari para bandit. Ada bandit elite politik dan bandit pengusaha yang berkongsi dalam mengeruk kekayaan di tambang emas Indonesia dan dibeking bandit militer. Rakyat hanya bisa menonton dagelan/sandiwara sosial ini layaknya melihat pertunjukan ketoprak atau sandiwara rakyat.

Bab Tiga: "Oposisi yang Loyo" (Hlm. 61--90) mencoba membongkar lemahnya elemen-elemen gerakan prodemokrasi di Indonesia, dalam hal ini lebih ditujukan kepada LSM/NGO. Ada ungkapan menarik yang patut direnungkan: setiap lembaga swadaya, semangatnya pasti berniaga, meskipun selalu mengaku nirlaba (Acep Zamzam Noer: hlm 65). Ungkapan tersebut tentu bukan bermaksud menafikan peran NGO/LSM yang kini berjuang sebagai pendamping rakyat, tapi lebih sebagai kritik tajam atas fenomena LSM/NGO yang sebagian besar tak lebih sebagai kontraktor yang menjual proyek rakyat dengan mengemis kepada donatur (terutama donatur asing) untuk mendapatkan dana yang masuk ke kantong-kantong pengurus LSM/NGO tersebut. Sedangkan rakyat tetap saja tak berdaya walaupun mereka memiliki slogan pemberdayaan rakyat.

Kemudian Bab Empat: "Demokrasi di Sini Membuang Kedaulatan Rakyat" (Hlm. 93--107) mencoba mendedah fenomena demokrasi antara idealita dan realitas. Ternyata, terdapat ketidaksesuaian dalam makna (contradixio in terminis) antara tatanan sosial yang seharusnya terjadi sebagai buah dari demokrasi dan kenyataan empiris yang ada. Bagaimana kita bisa mengatakan Demokrasi telah berpihak kepada rakyat di tengah 40 juta parade penganggur, di tengah jutaan penduduk miskin yang untuk makan sehari-hari saja susah, di tengah penggusuran lahan dan rumah rakyat atas nama pembangunan, di tengah pesta poranya para bandit elite-pengusaha-militer yang menikmati hasil keringat rakyat dengan cara KKN, di tengah diberikannya aset-aset kepentingan publik kepada asing atas nama privatisasi, dan di tengah sandiwara dan dagelan sosial yang luar biasa atraktif dan memukau untuk ditonton, tapi sebagai pil pahit bagi rakyat. Pantas memang, jika dikatakan dunia ini panggung sandiwara. Tergantung kita mau jadi apa dalam sandiwara tersebut.

Bab terakhir: "Rebut Kembali Demokrasi dari Tangan Bandit" (Hlm 109--131) merumuskan strategi yang harus dilakukan dalam rangka mengembalikan demokrasi kepada rakyat sebagai pemilik sah. Dengan menonton dagelan dan sandiwara yang kin sedang pentas tentu kita akan terbawa hanyut di dalamnya. Yang harus dilakukan saat ini bagaimana kita membubarkan kerumunan penonton dan menciptakan sandiwara baru dengan skenario baru, tokoh-tokoh baru, lakon baru, alunan musik baru, dan semua hal yang baru untuk mendukung pementasan yang baru ini.

Menurut penulis buku ini, setidaknya ada sepuluh skenario baru yang harus disusun dan dilakonkan, beberapa di antaranya: pendidikan rakyat, pembentukan organ rakyat, optimalisasi advokasi rakyat, penggalangan dan penguasaan opini, penguatan jaringan lintas ras dan agama, pengembangan tradisi berbasis produksi sebagai modal gerakan, pengambil-alihan mandat publik yang tidak dilakukan penguasa serta pembinaan kader gerakan untuk melakukan perubahan. ***

Deden Firdaus, penikmat buku tinggal di Bandar Lampung.